Minggu, 26 Oktober 2008
IRI
Aku iri,
Aku cemburu,
Aku ingin,
Ingin sepertimu.
Seperti Robiyatul 'Adawiyah bercinta,
Bercinta dengan Kekasihnya.
Seperti Abdul Qodir Zailanie yang selalu dekat.
Selalu dekat dengan Kekasihnya.
Seperti Ibnu 'Arobie yang selalu bersyair.
Bersyair akan cintanya pada Kekasihnya.
Seperti Ghozalie yang selalu berilmu.
Berilmu karena pemberian Kekasihnya.
Seperti Jalaluddien Rumie menangis,
Menangis karena ingin selalu bersama kekasihnya.
Aku ingin,
Ingin seperti mereka,
Selalu bercinta,
Bercumbu mesra.
Aku ingin,
Ingin seperti mereka.
Mereguk nikmatnya,
Nikmat cinta yang tiada rupa,
Tiada terasa,
Tiada henti,
Tiada berkesudahan
KENANG-KENANGAN
Bagaimana harus kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulangkali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Berabad-abad
yang lalu, kuucapkan selamat tinggal pada apa pun
yang berbau dongeng, atau masa silam. Tetapi cinta,
bukan sebotol coca cola. Atau film Disney;
si sana tokoh apa pun tak pernah mati. Juga bukan Rumi
yang menari. Sebab pada matamu bertemu semua musim,
sejarah, dan sesuatu yang mengingatkan aku
pada suatu hari ketika waktu berhenti, dan kusapa engkau
mesra sekali. Kini, bahkan wajahmu samar kuingat
kembali. Haruskah kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulangkali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Tetapi cinta,
bukan sekotak popok kertas. Atau sayap
sembilan puluh sembilan burung Attar yang terbakar. Cinta,
barangkali, kegagapanku mengecup sepasang alismu
PUISI TERAKHIR
puisi terakhir menyudahi segalanya,
lalu kukumpulkan
senja demi senja dihatiku,
seperti daun-daun yang jatuh dari ranting.
puisi terakhir menutup daun jendela,
lalu kuburu
angin yang nyaris terbang dari kerongkonganku,
seperti kerinduan bunga pada taman-taman
puisi terakhir membuka pagar tamanmu
lalu kusudahi langkah dan ucapku disana,
seperti kau yang lebih dulu berdiam dalam kata !
puisi terakhir menutup senja halaman
tak ada lagi untuknya !
SURAT DARI LANGIT
"Siapa tak jatuh cinta pada malam?" tanyamu
"Aku," jawabku. Sebab aku matahari
Siang ini masuk ke kamarmu di bukit
Sementara burung-burung gagak mencari buah pir,
Pohon besar di lembah meranggas
Dan rumput berserakan daunan kering.
Gadis berbaju biru berambut emas menunggu
Ia bukan mawar yang layu di musim dingin
Bukan juga malam, nama samaranmu
Tapi ia memandang jalan bersama matahari
Membiarkan jam berlalu, berlalu, berlalu.
Bayang-bayang menimpa bunga gelagah
Seorang wanita lain lewat, lalu pergi
Berjuta-juta wanita lewat sianghari
Tapi bukan kamu. Jelas bukan kamu, langitku
DI STASIUN
Lokomotif yang berdendang
Melengking memekak
Anggap saja itu nyanyian termerdu
Yang tersenandung di penghujung
Rindunya malam ini
Manusia yang berkemas
Berjejal penuhi larikan gerbong
Nan kelam dan luka
Bersama rerimbun pedangan asongan
Berteriak jajakan mimpi dan rasa
Bilakah seseorang memuaskan rindu perutnya
Kepada makanan atau permen murah yang dijual mahal
Saat peluit bersiul
Saat mesin menderu haru
Dan rel yang memanjang kaku
Tergilas roda-roda besi
Perlahan dan menghilang
Ada cemas menyangkut
Di ujung kepala botak lokomotif
ZIARAH ANGIN
Ziarahku kepada angin
Angin senja yang bernafas pada setiap
lekuk tarian kata-kata
Angin senja yang berdesir pada setiap
desah sajak-sajak
Angin senja yang membakar percik-percik
api dalam jiwa resah penyair
O berhembuslah hembus demi sajak
O menarilah desau demi sajak
O meradanglah sajak demi sajak
O gelisahlah penyair demi sajak
Ziarahku kepada angin
Angin berdesing
Sajak berdesing
Penyair berdesing
Desing berdesing
Membawa keping-keping matahari
dari rinai-rinai darah pada tubuh luka
pada jiwa samsara.
Membawa helai-helai langit
dari tangkai-tangkai rupa pada wajah resah
pada mata basah
Ziarahku pada angin
Yang menggoyang ilalang membawa ribuan sajak
yang menempel pada setiap dahannya
HAMPA
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
TENGAH MALAM
I
Aku tak mampu lagi
Mengangkat pena
Untuk sebuah sajak panjang
II
Hujan sudah lelah lima belas menit lalu
Setelah seharian memandikan bumi
Tak terdengar lagi tetes di atap
Senyap
Selain ringkikan serangga malam
Mainkan alunan orkestra dalam sebuah opera kehidupan
III
Tak ada puisi ini kali
IV
Dan seketika bulan menghilang separuh
karya baskoro
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar